Besarnya Kasih Sayang Allah (Bag. 5): Allah Selalu Menutupi Aib Kita
Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, baik yang tampak maupun tersembunyi. Jika semua dosa dan aib seseorang terbuka, mungkin ia akan kehilangan kehormatan di hadapan orang lain. Namun, salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah Dia menutupi aib hamba-Nya, memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki diri dan bertobat. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَهُوَ ٱلَّذِى يَقبَلُ ٱلتَّوبَةَ عَن عِبَادِهِ وَيَعفُواْ عَنِ ٱلسَّيِّـَاتِ وَيَعلَمُ مَا تَفعَلُونَ
“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan serta mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [1]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya.” [2]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya mengampuni dosa, tetapi juga menutupi aib hamba-Nya dengan kasih sayang-Nya.
Di antara sifat Allah yang penuh kasih sayang adalah As-Sittir (ٱلسِّتِّيرُ). Kata As-Sittir berasal dari akar kata satar (سَتَرَ) yang berarti “menutup” atau “menyembunyikan.” Sifat ini menunjukkan bahwa Allah tidak suka mengungkap aib dan dosa hamba-Nya, tetapi justru menutupinya, memberi mereka kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu Maha Pemalu lagi Maha Menutupi, dan Dia menyukai rasa malu serta menutupi (aib).”[3]
Jangan membongkar aib diri sendiri dan orang lain
Islam mengajarkan agar kita tidak membongkar aib diri sendiri maupun aib orang lain. Menyebarkan keburukan, baik secara langsung maupun melalui media sosial, dapat merusak harga diri, menimbulkan fitnah, dan menyebabkan permusuhan. Allah berfirman,
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah menggunjing satu sama lain.” [4]
Allah yang Maha Penyayang memerintahkan agar manusia menjaga kehormatan dirinya dan sesamanya. Dalam Islam, menutupi aib adalah bagian dari akhlak yang mulia dan akan dibalas dengan perlindungan dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, Allah akan menutupi aib seorang hamba di akhirat kelak apabila ia menutupi aib saudara muslim lainnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat.” [5]
Hadis ini mengajarkan bahwa siapa saja yang menjaga kehormatan orang lain, maka Allah juga akan menjaga kehormatannya. Sebaliknya, siapa saja yang senang mengumbar kesalahan orang lain, Allah akan membalasnya dengan membuka aibnya sendiri. Membongkar aib orang lain memiliki dampak negatif yang besar, di antaranya:
(1) Menimbulkan kebencian dan permusuhan antara sesama muslim.
(2) Merusak reputasi seseorang, meskipun ia sudah bertobat.
(3) Dapat menjadi fitnah, karena tidak semua informasi yang tersebar adalah benar.
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُوْلُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُوْلُ: نَعَمْ، أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala mendekatkan seorang mukmin kepada-Nya, lalu Allah menutupkan untuk hamba tersebut penutup-Nya. Allah bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu juga mengetahui dosa ini?’ Hamba itu pun mengatakan, ‘Ya, wahai Rabbku.’ Sampai kemudian ketika Allah Ta’ala meminta dia agar mengakui dosanya dan dia pun menyangka dirinya akan celaka, maka Allah Ta’ala mengatakan kepadanya, ‘Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia, dan pada hari ini Aku ampuni dosamu.’” [6]
Dua hadis di atas menunjukkan bahwasanya Allah adalah Dzat Yang Maha Menutupi aib hamba-Nya.
Bahaya membongkar aib
Allah telah memberikan nikmat dengan menutupi dosa dan kesalahan hamba-Nya. Namun, ada sebagian orang yang justru mengungkap keburukan dirinya sendiri, baik melalui cerita kepada orang lain atau dengan sengaja menampilkannya di media sosial.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Sesungguhnya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah seseorang melakukan suatu perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di pagi harinya dia menceritakan perbuatannya tersebut, padahal Allah sendiri telah menutupinya. Dia mengatakan, ‘Hai Fulan! Tadi malam saya berbuat demikian dan demikian.’ Sepanjang malam Tuhannya telah menutupi aibnya, tetapi ketika pagi hari, dia justru membuka penutup yang telah Allah tutupkan padanya.” [7]
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang mengungkap dosa sendiri, seakan-akan dia tidak menghargai kasih sayang Allah yang telah menutupinya. Membuka aib diri sendiri dapat berdampak buruk, seperti:
(1) Menghilangkan rasa malu dan takut kepada Allah, sehingga seseorang menjadi terbiasa melakukan dosa.
(2) Menjadi contoh buruk bagi orang lain, karena ada kemungkinan orang lain akan menganggap dosa tersebut sebagai hal yang biasa.
(3) Mengurangi kesempatan untuk bertobat dengan ikhlas, sebab dosa yang diumbar ke publik sering kali dijadikan kebanggaan.
Setiap manusia tentu memiliki kekhilafan dan aib, namun hal itu tidak seharusnya menjadi penghalang untuk berubah dan memperbaiki diri. Allah, dengan sifat-Nya yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi, memberikan kesempatan bagi setiap hamba-Nya untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan mereka. Dalam Islam, nilai seseorang tidak diukur dari masa lalunya, tetapi dari kesungguhannya dalam meningkatkan kualitas diri dan ketaatan kepada Allah. Kita bisa melihat bagaimana para sahabat yang dahulunya adalah orang yang menyembah kepada selain Allah, namun setelah masuk Islam dan memperbaiki dirinya, mereka berubah menjadi manusia terbaik yang menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, daripada terjebak dalam penyesalan, jadikanlah setiap kesalahan sebagai pelajaran dan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sebab, kemuliaan sejati terletak pada usaha terus-menerus dalam mencapai keistikamahan dan kedekatan kepada Allah.
***
Jember, 1 Ramadan 1446
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] QS. Asy Syura: 25
[2] QS. An-Najm: 32
[3] HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i
[4] QS. Al-Hujurat: 12
[5] HR. Muslim
[6] HR. Bukhari
[7] Muttafaqun ‘alaihi
Artikel asli: https://muslim.or.id/104371-besarnya-kasih-sayang-allah-bag-5-allah-selalu-menutupi-aib-kita.html